Sabtu, 26 November 2011

tenaga kerja Indonesia

Devisa dari Tenaga Kerja Indonesia dan Harga Diri Bangsa

Tenaga Kerja Indonesia Menghasilkan Devisa
Dalam perjalanan ke kantor di pagi hari, saya mendengar komentar di salah satu stasion radio tentang bagaimana seharusnya pemerintah bersikap terhadap negara Malaysia, yang dianggap telah mengganggu kedaulatan negara. Salah satu usul yang diterima stasion radio itu adalah agar pemerintah mengambil jalan perang. Namun, usulan ini ditanggapi negatif oleh komentator dari salah satu harian surat kabar ibu kota. Ia menyarankan agar tindakan perang dihindari. Alasannya, jutaan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia menghasilkan devisa yang besar bagi negara. Kemudian, ia mengatakan efek domino dari devisa yang dihasilkan dari TKI, yang dapat menggerakkan perekonomian. Tukang pecal misalnya, menjadi hidup karena keluarga yang mendapat kiriman uang dari TKI membeli pecal.
Sekilas alasan komentator itu kelihatan benar. Anda pun barangkali akan setuju agar opsi perang dihindari demi devisa yang masuk ke negara. Uang miliran rupiah dari TKI bisa membantu banyak orang di negeri ini. Selain itu, sulit mencari pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan yang cukup di negeri ini. Namun demikian, komentator itu mengabaikan prinsip yang penting; bahwa harga diri jauh lebih penting dari pada uang. Bagi dia, uang lebih penting daripada harga diri. Devisa dari tenaga kerja Indonesia lebih penting daripada harga diri atau kedaulatan negara.
Pada tulisan berjudul Harga Diri dan Pidato Ir. Soekarno 'Ganyang Malysia' saya tuliskan bahwa dalam diri manusia ada unsur kekekalan; berapa besar pun penambah, pengurang, pengali dan pembagi bilangan tak terhingga, nilainya tetap sama, yaitu tak terhingga. Demikian juga dengan harga diri. Harga diri tidak bisa ditukar dengan uang. Uang tidak membuat harga diri bertambah atau berkurang. Uang memang bisa membantu untuk membelikan makanan yang diperlukan oleh tubuh, tetapi uang tidak dapat mengangkat harga diri. Pada kitab-kitab kuno pernah disebutkan, "Lebih baik penghasilan sedikit disertai kebenaran, daripada penghasilan banyak tanpa keadilan." "Lebih baik orang miskin yang bersih kelakuannya daripada orang yang berliku-liku jalannya, sekalipun ia kaya."
Mengutamakan uang- inilah penyakit umum bangsa kita. Daya tarik uang memang luar biasa. Mulai dari pejabat tinggi sampai pejabat rendah bahkan rakyat kecil termasuk tenaga kerja Indonesia yang di luar negeri pun- telah dijangkiti penyakit cinta-uang. Yang memahami bahwa harga diri lebih penting dari pada uang semakin sedikit. Urusan perut menjadi lebih penting dari pada urusan jiwa; pakaian lebih penting dari pada tubuh. Kita tidak mampu lagi membedakan yang prinsipil dari yang bukan; yang primer dari yang sekunder. Uang menjadi yang paling penting dalam hidup. Karena uang, yang salah jadi benar dan yang benar jadi salah. Sangat menyedihkan.
Ada yang salah dalam diri bangsa kita. Hati dan pikiran bangsa kita sudah rusak. Pikiran dan jiwa semakin kerdil. Di jalan kita melihat semakin banyak mobil yang baru dan sepertinya uang tidak habis-habis untuk membeli barang-barang mahal. Tidak henti-hentinya gedung bertingkat, ruko, dan kompleks perumahan dibangun. Namun, jiwa dan pikiran bangsa tidak kita bangun. Jiwa bangsa kita makin lama makin kosong. Pikiran tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri juga tidak diisi dengan prinsip-prinsip yang kokoh. Hanya mujizat yang diharapkan agar hati bangsa ini berbalik ke hal-hal yang benar. Namun sebelum itu terjadi, siapa yang mau mencerahkan hati dan pikiran bangsa ini? Hanya mereka yang masih mempunyai hati nurani yang relatif bersih. Mungkin Anda termasuk sosok yang demikian. 
sumber : http://www.putra-putri-indonesia.com/tenaga-kerja-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar