Sabtu, 26 November 2011

Menata Kawasan Kumuh Jakarta

Saat Pemprov DKI Jakarta kebingungan menambah luas ruang terbuka hijau (RTH), di depan mata sebenarnya terbuka lahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghijaukan metropolitan.

Lahan yang dimaksud adalah tanah negara yang beralih fungsi menjadi permukiman kumuh. Dari data luas wilayah kumuh di Jakarta seluas 8.000 ha, sekitar 35% di antaranya  adalah permukiman liar atau hunian yang berdiri di lahan milik negara.

Artinya, sekitar 2.940 ha permukiman kumuh di Jakarta itu bisa diambil alih untuk menghijaukan Jakarta.

Harian ini memberitakan, penambahan  RTH di Jakarta sangat lambat. Sampai saat ini RTH di Jakarta baru sekitar 9,8 persen dari luas Jakarta. Pemprov DKI tengah berusaha keras menambah luas RTH dengan target 13,9 persen dari luas RTH ideal sebesar 20 %.

Persoalan yang selama ini mengemuka adalah pada proses penertiban yang justru Pemprov DKI Jakarta sudah sangat berpengalaman. Penertiban sudah berjalan seumur Jakarta. Hanya saja, cara-cara penertiban menjadi sorotan manakala disangkutpautkan dengan hak asasi manusia.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan aparatnya tak perlu ragu.  Selama ini Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan solusi untuk warga yang tinggal di kawasan terlarang. Pada sejumlah kasus, warga yang terkena penertiban mendapatkan uang kerohiman.


Padahal, uang kerohiman bukan keharusan dan tidak diatur dalam Perda maupun undang-undang. Uang tersebut adalah bentuk rasa kemanusiaan atau  niat baik pemerintah agar warga tergusur memiliki dana untuk pindah.


Penertiban terhadap warga kawasan bantaran kali, juga sudah disertai solusi yakni dengan menyediakan rumah susun sederhana. Pada tiga tahun terakhir ini Pemprov DKI telah membangun rusunawa 4.000 unit dan akan menjadi 5.000 unit pada 2011. 


Di lain pihak, pemerintah sudah mengupayakan penataan kawasan kumuh yang diharapkan akan menggerus bangunan liar di lahan terlarang. Penataan yang mengandalkan program Mohammad Husni Thamrin (MHT) Plus yang diintegrasikan dengan Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri cukup membuat optimistis kekumuhan akan terhapus. 


Kita mendukung sejumlah langkah tersebut. Namun, sejumlah catatan perlu mendapat perhatian lebih dari Fauzi bowo dan kawan-kawan.

Pertama, menggenjot pembangunan rusunawa. Pekerjaan yang tak mudah bagi pemerintah daerah mengingat pengembang masih enggan, mengingat margin keuntungan yang kecil.

Dalam posisi seperti itu, sebaiknya pembangunan dilakukan dengan memadukan program lintas sektoral yakni mengefektifkan dana-dana corporate social responsibility (CSR).

Program CSR ini sangat masuk akal sebagai sebuah usaha timbal balik antara instansi swasta atau perusahaan dengan pemerintah daerah dalam hal penataan lingkungan.
Kedua, relokasi warga ke rusunawa harus diawasi ketat. Selama ini, sejumlah rusun untuk warga miskin justru dikuasai mereka yang tak berhak. Alhasil, penertiban seolah tak berguna. Penertiban hanya memindahkan warga tergusur dari satu lokasi ke lokasi terlarang lainnya.


Pendampingan adalah jalan yang paling efektif untuk mengurai persoalan ini. Warga tergusur harus didampingi, sehingga mereka rela berpindah atau tidak dengan gampang mengalihkan hak mereka tinggal di rusunawa. Selain itu, warga juga dapat dibimbing untuk menyelarasakan antara pekerjaan atau profesi mereka dengan lokasi tinggal.


Lebih dari itu, program  pendampingan sangat berguna mengubah perilaku warga miskin. Bahkan perilaku tersebut bisa ditularkan ke warga yang lain.

Pendapingan pula yang membuat sosialisasi larangan urbanisasi lebih efektif, yakni pesan agar warga kawasan kumuh tidak lagi membawa keluarganya ke Jakarta.

Ketiga, penertiban seharusnya juga dilakukan di rusun yang diperuntukkan bagi warga miskin. Mereka yang tak berhak tinggal di rusunawa  juga harus ditertibkan, sehingga jumlah unit yang terbangun benar-benar efektif untuk warga korban gusuran. 

Keempat, penertiban seharusnya juga dilakukan di rusun yang diperuntukkan bagi warga miskin. Mereka yang tak berhak tinggal di rusunawa  juga harus ditertibkan sehingga jumlah unit yang terbangun benar-benar efektif untuk warga korban gusuran.

Kelima, menjaga berbagai fasilitas umum serta lahan terbuka yang sudah ada sehingga tidak begitu saja diserobot untuk dijadikan permukiman.


Keenam, adalah mengenai data yang sangat minim. Dari penelusuran harian ini, tersirat bahwa data awal penataan kawasan sangat minim di sejumlah instansi terkait, bahkan di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) sekalipun.

Data yang menggambarkan kondisi riil di lapangan, akan sangat menentukan keberhasilan penataan, mengingat cara penanganan, dana yang dibutuhkan maupun target sangat bergantung pada data lapangan.


Persoalan minimnya pendataan ini tampaknya sama dengan yang terjadi pada pendataan mengenai pendatang ke Jakarta. Pemprov DKI Jakarta belum memiliki data akurat berkaitan dengan seluk beluk para pendatang.

Apakah karena data yang kurang dan tidak akurat ini sehingga penanganan berbagai persoalan menjadi terhambat?  Tak perlu mencari jawabannya, karena yang diperlukan adalah melakukan survei dan penataan akurat untuk menjadi dasar berbagai proyek penataan.    

sumber : http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/menata-kawasan-kumuh-jakarta/2172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar